Ramadan tempo doeloe (10): Pasa Mambo

Ketika masih tinggal didusun bersama Ibu dan Abak, selama bulan Ramadan, pabukoan (makanan pembatal puasa) selalu kami buat sendiri.  Bahkan beberapa bahan bakunya seperti ubi, singkong, pisang, labu, pepaya, alpukat dan tebu, berasal dari kebun sendiri.  Didusun kami tidak ada pasar kaget yang tiba-tiba muncul dibulan Ramadan saja, dimana kita dapat membeli segala macam pabukoan.  Paling-paling, pada hari balai (hari pasar) yang dikampung kami jatuh pada setiap Jumat, ada pedagang yang menjual cindua bareh, cindua dalimo dan kolang-kaling.  Itu pun masih mentah, masih perlu diolah di dapur masing-masing sebelum dapat dinikmati saat berbuka tiba.

Pasar Ramadan hanya ada di Sungai Penuh.  Namanya Pasa Mambo.  Tak tahu aku bagaimana sejarahnya hingga pasar itu bernama mambo.  Pasar sebulan penuh itu memanfaatkan jalan yang lumayan lebar diantara dua blok Pasar Beringin.  Pada hari biasa diluar bulan puasa, selain untuk lalu lalang, jalan lebar itu dipakai untuk parkir kendaraan dan ada pula beberapa lapak pedagang kaki lima.  

Segala macam makanan dan minuman special Ramadan tersedia di pasa mambo.  Yang paling legendaris adalah lamang tapai, yaitu irisan lemang dari ketan putih yang disiram dengan tape ketan hitam beserta airnya.  Pabukoan ini tentu mengenyangkan, apalagi bila dilanjutkan dengan nasi beserta lauk-pauk beraneka rupa.  

Segala macam kolak pun ada, kolak pisang, kolak ubi, kolak labu, kolak kolang-kaling.  Ada cindua bareh dan cindua dalimo.  Bubur kacang padi dan kacang merah serta bubur sumsum.  Rupa-rupa jus, terutama jus alpukat yang terfavorit kesukaan ramai.  Sate padang dan sate kacang.  Gado-gado.  Pisang goreng dan godok.  Martabak dan es tebak.  Onde-onde, kue putu dan kue talam.  Lapek pisang dan lapek bugih.  Dan tentu saja ada kurma.

Beragam tingkah orang di pasa mambo.  Paling tidak khalayak pengunjung pasa mambo dapat dibagi kedalam tiga golongan.  Golongan pertama datang dengan penuh semangat, matanya menyapu cepat seantero pasa.  Setiap lapak didatangi, makanan yang dijual diamati lekat atau bahkan disentuh.  Tidak lama kemudian tangan kiri-kanannya telah penuh kantong plastik berisi makanan dari berbagai lapak.  Seakan-akan seluruh pasa mau diangkutnya pulang.  Rupanya orang ini demikian menghayati puasanya, sehingga lapar dahaganya teramat sangat.  Diperlukan pasokan bahan pangan beraneka dan dalam jumlah besar untuk membalas dendam.

Golongan kedua adalah pengunjung pasar yang sangat fokus dan efisien.  Mereka masuk pasar tanpa celingak-celinguk kiri kanan, langsung menuju lapak tertentu, membeli pabukoan tanpa banyak cincong.  Lalu meninggalkan pasar dengan satu atau dua kantong plastik ditangan.  Mereka tahu apa yang mereka mau.

Sementara golongan ketiga adalah yang paling antik dan boleh jadi paling besar populasinya.  Mereka masuk pasa, melepas pandang kesegala arah mata angin dan menelusuri setiap lorong dan sudut pasa.  Sesekali mereka bertanya kepenjaga lapak sambil menunjuk-nunjuk makanan yang dijual.  Tiba diujung pintu keluar pasa, tidak nampak mereka menenteng apapun.  Siapa mereka sebenarnya dan apa motif mereka?  Ada tiga kemungkinan, mereka mungkin turis dari negeri jauh yang terkesima dengan hal baru yang ditemuinya, atau Celebrity Chef yang sedang melakukan pengambilan gambar untuk food channel di TV atau orang yang tak bapitih.

Dari penampilan, logat bahasa dan tindak-tanduk, rasanya mereka bukan turis.  Sangat tipis kemungkinan mereka Celebrity Chef, sepanjang puluhan menit di pasa, tak seorangpun mengenal mereka atau meminta tanda tangan.  Tidak pula nampak kru TV menggotong kamera besar mengikuti mereka.  Sangat besar kemungkinan mereka termasuk jenis ketiga, tak bapitih tapi banyak gaya.

Termasuk kategori ketiga ini adalah para aktifis tarawih asmara dan asmara subuh. Klik
kabacarito: Ramadan tempo doeloe (8): Tarawih Asmara dan Asmara Subuh untuk mengetahui lebih detail tentang mereka.  Mengantar pulang dengan jalan memutar selepas subuh dan tarawih tidak lagi cukup.  Maka mereka menyesaki lorong-lorong pasa mambo, meski pitih tak ada dan tak beli apa-apa.  Tetap lebay dan mati karancakan, yang laki-laki merasa setampan Doni Damara dan yang perempuan merasa secantik Paramitha Rusady.

Comments

Unknown said…
Keren.. Masih ingat begitu detail.. :)
Terima kasih Mandan Ardi...

Ini hanya cerita untuk ditinggalkan kepada anak cucu...karena sudah pasti dunia mereka akan sangat jauh berbeda. Mereka tak seberuntung kita dapat menikmati kebersahajaan masa lalu.

Ambo punyo target sepanjang bulan puaso memposting satu carito perhari, total nanti ada 30 carito. Mohon bantuan untuk mangana-ngana kejadian maso lalu, buliah ambo tuliskan...
Unknown said…
Mungkin masih takana soal pai barayo ka rumah guru, atau soal buku ramadhan yg harus di isi jo ceramah do tando tangan ustad. Atau yang lebih pribadi soal kelompok baraja salamo sakolah.. :)

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)